Seberkas Harapan di panas yang gersang


"Kita tidak bisa lagi percaya pada eksekutif dan legislatif, sudah terlalu banyak kecewa yang mereka bikin timbul di hati. Jika menganggap yudikatif sebagai harapan, maka ia adalah harapan semu yang tak pantas masuk perhitungan. Masa depanmu ada di tangan rakyat banyak!"


Konstelasi sosial politik yang selalu riuh dan berisik sejatinya berarti dua hal, rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi menjadi gemar berisik bersuara dan mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang ada atau berarti adanya pemerintahan adikuasa yang gemar bertingkah laku zalim lalu selalu hadirkan kontroversi buruk di tengah masyarakat. Jika ditanya mana yang lebih baik, jelas saya akan tanpa ragu selalu memilih yang pertama, sebab memang begitulah natur dari demokrasi. Kegaduhan dan kebisingan adalah sahabat pasti dari demokrasi, walau berisik dan kadang mengganggu, diharapkan negara akan menjadi sehat sebab diisi dengan pertarungan ide serta gagasan menarik nan konstruktif dan tiap kita punya hak bersuara untuk bahkan setitik kecil peraturan yang akan seumur hidup kita turuti.

Namun, riuh badai percaturan politik selama ini tampaknya tidak membuat kita penuh harapan baik akan hadirnya negara yang sehat, malahan membuat negeri ini sakit keras dan hanya sedikit orang yang mau mencari obatnya. Pertarungan ide serta gagasan nihil konstruktif seringkali keluar dari bibir para elit hanya untuk memenangkan kontestasi ataupun membesarkan perut sendiri. Lalu, kondisi demokrasi hari ini pun mengingatkan saya akan sepatah kata dari Soe Hok Gie yang menulis bahwa kita seolah-olah sedang merayakan demokrasi namun rutin memotong lidah orang-orang yang berani bersuara dan merugikan pemerintah.


Saya selalu tertarik apabila mendengar kisah perdebatan para pendiri bangsa pada masa mempersiapkan kemerdekaan ataupun awal dari kemerdekaan itu sendiri. Pertarungan ide serta gagasan ideologis, menarik, dan relevan selalu dihadirkan dari mulut mereka yang pada waktu itu jelas bisa kita sebut sebagai elit negeri. Cerita tentang bagaimana Soekarno yang menginginkan konsep negara kesatuan berdebat dengan Hatta yang menginginkan konsep negara federal, cerita tentang bagaimana Soepomo yang mengajukan konsep negara integralistik-totaliter namun dijawab Soekarno dengan mengajukan dasar negara bernama Pancasila yang adalah hasil uraiannya atas intisari bangsa yang multikulturalis, hingga Mohammad Yamin dan Hatta yang bersikukuh memasukkan HAM sebagai aspek penting pembangun bangsa adalah kisah menarik pertarungan gagasan para elit politik di mula-mula kemerdekaan yang amat sulit kita temukan kini.


Persekongkolan jahat di parlemen dalam mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja dan RKUHP sangat jelas bisa kita jadikan contoh. Ke mana perginya suara para politisi yang mengaku mendukung hak-hak perempuan saat pekerja perempuan dijadikan korban besar eksploitasi di UU Cipta Kerja? Ke mana perginya suara para politisi yang mengaku peduli pada keadilan sosial saat para buruh jadi makin menderita akibat UU Cipta Kerja? Ke mana perginya suara para politisi yang mengaku pegiat HAM saat hak-hak sipil makin dikebiri oleh RKUHP? Ke mana perginya suara para politisi yang mengaku peduli demokrasi saat pasal-pasal antidemokrasi dalam RKUHP membuat kita semakin takut mengkritisi?


Tampaknya, ide, wacana, gagasan, dan juga teori-teori gemilang kini telah kalah dengan nominal dan angka dalam hal membangun pondasi bangsa. Para elit politik disibukkan dengan pertarungan kepentingan hingga lupa tujuan awalnya untuk membangun peradaban. Peradaban buruk akan dilahirkan oleh produk hukum yang buruk dan peradaban yang keji akan dilahirkan oleh tindakan serta kebijakan pemimpin negeri yang keji. Namun, apakah keruhnya air sungai tersebut lantas membuat kita tak pantas untuk mempunyai bahkan secercah mungil harapan?


Konsepsi kita dalam memandang negara sejak awal selalu berusaha untuk menghadirkan harapan. Kita merancang negeri ini dengan tiga pilar kekuasaan yang telah bertahan selama tujuh puluh tahun lebih dalam konstitusi bernama kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Harapan itu hadir pada kita ketika dinyatakan dalam konstitusi bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi dan kita berhak untuk memilih setiap pemimpin yang akan mengurus kita beberapa tahun lamanya dalam balut kekuasaan eksekutif, harapan itu hadir pada kita ketika dinyatakan dalam konstitusi bahwa kekuasaan legislatif adalah kekuasaan yang akan sebetul-betulnya mewakili suara dan aspirasi rakyat dalam membangun bangsa, harapan itu hadir pada kita ketika dinyatakan bahwa kekuasaan yudikatif akan menjadi kekuasaan bebas kepentingan yang secara independen akan menghadirkan keadilan sebenar-benarnya pada rakyat.


Jika harapan itu digambarkan dengan sinar bintang yang terang, maka kini kita telah melalui malam yang kelam. Pemerintah yang berdiri kokoh dalam balut kekuasaan eksekutif kini tampaknya lupa dengan siapa yang punya kedaulatan tertinggi, kita menjadi sulit untuk bebas mengkritisi dan juga sering dihadiahi dengan kebijakan tak masuk akal yang entah memihak siapa. Para politisi di parlemen juga turut mengecewakan kita dengan seringkali diam pada tindakan pemerintah dan juga rancangan aturan yang akan menyiksa namun berlomba katakan iya pada hal-hal yang sarat angka dan nominal. Pemegang kekuasaan yudikatif pun tak mau kalah dalam mengecewakan kita melalui putusan-putusan buruk dan perselingkuhannya dengan eksekutif dan legislatif untuk mengacaukan semua.


Kita tidak bisa lagi percaya pada eksekutif dan legislatif, sudah terlalu banyak kecewa yang mereka bikin timbul di hati. Jika menganggap yudikatif sebagai harapan, maka ia adalah harapan semu yang tak pantas masuk perhitungan. Kini kita sejatinya hanya bisa berharap pada tangan yang mengepal dan suara yang lantang, sebab hanya mereka dan iman di dada lah yang selalu menjanjikan harapan yang terang apabila melakukannya dengan semangat yang panjang.


Merawat harapan adalah hal yang esensial, mengingat para penindas tak begitu suka dengan mereka yang penuh harapan. Jam kerja delapan jam sehari dapat hadir akibat para pejuang yang terus merawat harapan akan masa depan indah mereka. Perempuan yang dapat memilih pemimpinnya di bilik suara hadir karena tiap kaum puan di masa lalu yang mau memperjuangkan harapan mereka akan dunia yang setara. Bahkan, Indonesia yang merdeka tujuh puluh delapan tahun yang lalu dapat hadir akibat kekuatan rakyat banyak yang punya harapan akan bebas dari penindasan.


Selamat memelihara kewarasan, merawat harapan, dan senantisasa melawan!



Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH TEKS MC PEMBUKAAN BASIC TRAINING LK-1 HMI KOMISARIAT TARBIYAH CABANG KETAPANG

CONTOH LAPORAN KETUA PANITIA PELANTIKAN PENGURUS HMI KOMISARIAT TARBIYAH DAN KOMISARIAT PERTANIAN

CONTOH TEKS MC PEMBUKAAN RAPAT ANGGOTA KOMISARIAT(RAK) KOMISARIAT TARBIYAH HMI CABANG KETAPANG